HFQ TAMAN SORGA

HFQ TAMAN SORGA

Selasa, 24 Maret 2015

HUKUM MENABUH HADRAH/REBANA/­­TERBANGAN

HUKUM MENABUH HADRAH/REBANA/­­TERBANGAN
Di dalam madzhab Syafi’i bahwa Duff (rebana) hukumnya Mubah secara Mutlak (lihat dalam Faidh al-Qadir juz 1 halaman 11). Diriwayatkan pula bahwa para wanita memukul rebana menyambut Rasulullah Saw. di suatu acara pernikahan dan Rasul Saw. mendengarkan syair mereka dan pukulan rebana mereka, hingga mereka berkata: “Bersama kami seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi”, maka Rasul Saw. bersabda:“Tinggalkan kalimat itu dan ucapkan apa-apa yang sebelumnya telah kau ucapkan.
(Shahih Bukhari hadits No. 4852).
Juga diriwayatkan bahwa rebana dimainkan saat hari Asyura di Madinah di masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum (Sunan Ibn Majah hadits No.1897).
Dijelaskan oleh Imam Ibn Hajar bahwa Duff (rebana) dan nyanyian pada pernikahan diperbolehkan walaupun merupakan hal yang Lahwun (melupakan dari Allah), namun dalam pernikahan hal ini (walau lahwun) diperbolehkan (keringanan syariah karena kegembiraan saat nikah), selama tak keluar dari batas-batas mubah.
Demikian sebagian pendapat ulama (Lihat dalam Fath al-Bari Juz 9 halaman 203) menunjukkan bahwa yang dipermasalahkan mengenai pelarangan rebana adalah karena hal
yang lahwun (melupakan dari Allah), namun bukan berarti semua rebana haram, karena
Rasul Saw. memperbolehkannya, bahkan dijelaskan dengan Nash Shahih dari Shahih Bukhari. Namun ketika mulai makna syairnya menyimpang dan melupakan dari Allah Swt. maka Rasul Saw. Melarangnya. Demikianlah maksud pelarangannya di masjid, karena rebana yang mengarah pada musik lahwun, sebagian ulama membolehkannya di masjid hanya untuk nikah walaupun lahwun, namun sebagian lainnya mengatakan yang dimaksud adalah diluar masjid, bukan didalam masjid. Pembahasan ini semua adalah seputar hukum rebana untuk gembira atas akad nikah dengan lagu yang melupakan dari Dzikrullah.
Berbeda dengan rebana dalam maulid, karena isi syairnya adalah shalawat, pujian pada Allah dan RasulNya Saw., maka hal ini tentunya tak ada khilaf padanya, karena khilaf adalah pada lagu yang membawa lahwun.
Sebagaimana Rasul Saw. tak melarangnya, maka muslim mana pula yang berani mengharamkannya, sebab pelarangan di masjid adalah membunyikan hal yang membuat lupa dari Allah di dalam masjid. Sebagaimana juga syair yang jelas-jelas dilarang oleh Rasul Saw. untuk dilantunkan di masjid, karena membuat orang lupa dari Allah dan masjid adalah tempat dzikrullah, namun justru syair pujian atas Rasul Saw. diperbolehkan oleh Rasul Saw. di masjid. Demikian dijelaskan dalam beberapa hadits shahih dalam Shahih Bukhari, bahkan Rasul Saw. menyukainya dan mendoakan Hassan bin Tsabit seraya melantunkan syair di masjid, tentunya syair yang memuji Allah dan RasulNya.
Saudaraku, rebana yang kita pakai di masjid itu bukan lahwun dan membuat orang lupa dari Allah, justru rebana-rebana itu membawa muslimin untuk mau datang dan tertarik hadir ke masjid, duduk berdzikir, melupakan lagu-lagu non muslimnya, meninggalkan alat-alat musiknya, tenggelam dalam dzikrullah dan Nama Allah Swt. ‘Asyik ma’syuk menikmati rebana yang pernah dipakai menyambut Rasulullah Saw., mereka bertobat, mereka menangis, mereka asyik duduk di masjid, terpanggil ke masjid, betah di masjid, perantaranya adalah rebana itu tadi dan syair-syair pujian pada Allah dan RasulNya, dengan meniru perbuatan para sahabat yaitu kaum Anshar yg menyambut kedatangan nabi muhammad saw dimadinah
Semoga manfaat sedikit penjelasan yg singkat ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar